Konsumen yaitu beberapa orang yang menjadi pembeli atau
pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka gunakan atau mereka konsumsi
sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan dan
perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada
satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada
sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam
implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas,
hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
A. Asas perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima
asas perlindungan konsumen.
· Asas
manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
· Asas
keadilan
Asas ini
dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
· Asas
keseimbangan
Asas ini dimaksudkan
untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
· Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
· Asas
kepastian hukum
Asas ini
dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin
kepastian hukum.
B.
Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU
Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
adalah sebagai berikut.
· Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
· mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.
· Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
· Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
· Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
· Meningkatkan
kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN
KONSUMEN
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah
hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika
ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan
menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk
memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja
ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak
konsumen sebagai berikut :
·
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·
Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
· Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
· Hak
untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
· Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
· Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
· Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
· Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
· Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku
usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban
pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut
ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh
pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan
terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5
tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen
dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang
merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan
apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana
konsumen memperjuangkan hak-haknya.
B.
Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
•
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
•
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
•
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
•
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN
PELAKU USAHA
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1. hak untuk
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. hak untuk
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3. hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
4. hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut
ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1. beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu
barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak
bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen.
Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku
usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima
pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad
baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
BAB VI
PERBUATAN
YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan
mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17
UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok,
yakni:
1. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai
dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
·
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
·
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
·
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
·
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
·
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
·
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain
untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
·
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan
tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada
UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki
pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain
tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad
baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik
melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga
memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang
jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai
berikut:
Ø
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Ø
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
Ø
Bekas: sudah pernah dipakai.
Ø
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan
rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah
tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan,
namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda
tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu
dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau
jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
BAB VII
TANGGUNG
JAWAB PELAKU USAHA
Setiap
pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang
cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha
ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di
dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28.
di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas
kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara
itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di
dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung
jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
·
barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan ;
·
cacat barang
timbul pada kemudian hari;
·
cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
·
kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
·
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka
waktu yang diperjanjikan
BAB VIII
SANKSI
BAGI PELAKU USAHA
Masyarakat
boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya
yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak
sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU
Perlindungan Konsumen ini.
Dalam
pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut
telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha
diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard
rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang
rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan
klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b
) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari
ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh
para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan
oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha
untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota
pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering
ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain
bisa dikenai pidana, selama 5 (lima) tahun penjara, pencantuman klausula
tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU
no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi
seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”
automatis batal demi hukum.
Namun
dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut,
di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping
pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah
tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal
harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut
jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana
pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara
dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam
kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau
pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu
banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU
Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah
perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau
lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap
dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi
Perdata
:
·
Ganti rugi dalam bentuk :
·
Pengembalian uang atau
·
Penggantian barang atau
·
Perawatan kesehatan, dan/atau
·
Pemberian santunan
·
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah),
melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
·
Kurungan :
·
Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9,
10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
·
Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11,
12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
·
Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang
Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian
·
Hukuman tambahan , antara lain :
·
Pengumuman keputusan Hakim
·
Pencabuttan izin usaha;
·
Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
·
Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
·
Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
SUMBER
:
http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=sanksi
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=33
http://www.turnudy.com
http://www.wikipedia.com
http://gustinkartikarachman.blogspot.com/p/hukum-perlindungan-konsumen.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar